RESUME BUKU BILL KOVACH DAN TOM ROSENTIEL
Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan
sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of
Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan
1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.
Bill kovach dan Rosenstiel ingin menyebarkan apa yang mereka
ketahui dan apa yang mereka pelajari selama 3 tahun tersebut, dalam waktu yang
cukup sebentar, mereka mampu untuk menyimpulkan elemn-elemen dari jurnalisme
yang membutuhkan 1.200 wartawan sebagai responden.
Pada buku ini esensi seorang wartawan dibahas tuntas, banyak
sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada benak kita mengenai wartawan
dibahas oleh buku ini, salah satunya pertanyaan kepada wartawan paling sering
ditanyakan oelh orang-orang awam mengenai keberpihakan wartawan, karena adanya
hal-hal yang menjadi tendensi wartawan dalam loyalitasnya, kepada masyarakat
atau kepada perusahaan. Karena wartawan bekerja dengan perusahaan yang tentunya
tidak bisa mereka langkahi kebijakannya. Tetapi tanggung jawab sebagai wartawan
kepada masyarakat menciptakan keberhasilan perusahaan tersebut karena telah loyalitasnya
kepada masyarakat daripada menguntungkan bisnisnya sendiri.
Bill kovach Tom rosentiel juga khawatir bila ada wartawan
yang mengesampingkan kewajibannya kepada masyarakat, karena sibuk untuk
mengurusi bisnis medianya. Yang tentu saja akan membuat integritasnya sebagai
wartawan akan tergeser karena tidak adanya pengabdian terhadap masyarakat.
Karena bisnis media adalah bisnis yang berbeda, tidak
seperti bisnis kebanyakan yang lebih mementingkan keuntungan. Pada bisnis
media, bisnis ini lebih melibatkan kepercayaan masyarakat sebagai konsumen yang
media sebarkan. Tidak semua media berbayar, karena penyebaran informasi melali
televisi, radio, internet, membaca, dll. Bahkan pada media cetak pun masyarakat
hanya membayar ongkos produksi yang tentu sudah disubsidi agar harganya terjangkau
dan setiap orang mampu menikmati informasi yang ada tanpa terkecuali. Maka kepercayaan
lah yang akan terus dibangun diantara masyarakat dan perusahaan media.
Kebenaran yang dibangun media melalui banyak bukti-bukti
dalam kejadian yang ada yang jelas memperkuat apa yang mereka beritakan, agar
informasi tersebut bisa menjadi informasi yang sesuai fakta dan tepat dengan
apa yang terjadi, sehingga masyarakat bisa mengetahui kebenaran dari kejadian
tersebut.
Dalam buku ini juga membahas mengenai bagaimana cara
memverivikasi desas-desus, kabar burung, dan banyak hal lainnya yang menjadi
sumber berita, tetapi keakuratannya tidak menjamin. Karena ada beberapa hal
tertentu yang mengurangi akuratnya fakta yang ada.
Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak
mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa
yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali
fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan
sendirinya.
Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya
struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang
paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang
paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami
berita secara alamiah.
Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan
naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan
terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang
kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang
revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan
pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.
menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu
pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as
ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined
experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda
ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai
tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”
Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang.
Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Karena
fairness tersebut harus dimiliki oleh para wartawan mengenai apa yang mereka
cari dan akan mereka bertakan. Wartawan harus megerti setiap kondisi, bagaimana
bisa mencari solusi dalam fairness terhadap apa yang mereka beritakan. Agar
tidak disalah artikan dan tidak menjadi masalah yang berbalik kepada wartawan
tersebut.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam
verifikasi:
- Jangan menambah atau mengarang apa pun
- Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun
pendengar
- Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang
metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase
- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri
- Bersikaplah rendah hati.
jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi
begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin.
David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai
tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder
terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen
misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya.
Lingkaran terdalam adalah saksi mata.
pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s
Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang
nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna
untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per
kalimat.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh
mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap
dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.
Wartawan tentu boleh beropini mengenai kejadian yang mereka
liput, tapi tidak boleh mengurangi integritasnya sebagai wartawan yang netral.
Karena opini wartawan harus diluar dari pemberitaan, agar berita tetap netral
sesuai fakta tanpa disisipi opini berkepihakan. Opini wartawan hanya sebatas
dikolom komentar, hanya untuk menjadi refleksi mengenai apa yang terjadi pada
pemberitaan tersebut. Maka wartawan juga harus tau sejauh mana dia bisa
berkomentar, karena bisa saja opininya menjadi indikasi keberpihakan, yang
tentunya akan merusak citranya dan berita yang sedang dia bahas.
Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme.
Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya,
wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini
lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap
harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan
verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai
ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan
dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap
orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau
menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas
lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu,
Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat,
laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen
dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini
seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan
alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang
redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu
secara intelektual ketimbang yang seragam.
Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan
liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan
sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.
Dilihat pada kondisi media hari ini, banyak sekali media
yang belum semuanya menjalankan 9 prinsip jurnalisme, karena adanya tendensi
pribadi tertentu yang membuat mereka tidak menjalankan prinsip-prinsip
tersebut. Maka setiap masyarakat tidak bisa percaya begitu saja pada satu
media, masyarakat harus melakukan verfikiasi lagi terhadap hal-hal yang mereka
baca, agar tidak terkecoh dan percaya pada media-media yang tidak netral. Media
pada masa kini masih sering sekali tidak bisa netral mengenai pemberitaannya,
bisa karena hanya mencari keuntungan, rating sebuah acara dan dikendalikan
untuk tujuan tertentu. Yang tentu saja akan merugikan banyak pihak mengenai
pemberitaan tersebut. Tetapi masyarakat dengan seiring waktu, akan mengerti
bagaimana cara kinerja media-media tersebut. Maka masyarakat bisa menjadi
penyeimbang dalan mendisiplinkan media-media yang tidak mengikuti sembilan
prinsip tersebut.
Komentar
Posting Komentar